Peran Orang Bau Tanah Terhadap Kehidupan Anak



          Pada dasarnya, orang bau tanah haruslah melindungi anak dan bertanggung jawab atas anak mereka.  Adapun tanggung jawab dari orang bau tanah terhadap anak yang harus dipenuhi ialah :
a.       Mengasuh, memeilihara, mendidik, dan melindungi anak.
b.      Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan mint dan talenta si anak tersebut.
c.       Mencegah perkawinan dalam usia anak- anak.
Perlindungan terhadap anak memang sangat rentan. Ketika masyarakat luas beropini bahwa anak sangat aman di dalam lingkup keluarganya, tidaklah benar seutuhnya. Tidak ada yang sanggup menjamin bahwa anak akan terlindungi dalam lingkup yang disebut keluarga. Pada kenyataannya banyak anak yang menjadi korban kekerasan di dalam suatu rumah tangga. Hal ini terjadi pada dua bocah kecil yang tidak berdosa. Anak yang tidak tahu – menahu mengenai permasalahan diantara kedua orang bau tanah mereka menjadi korban yang akan paling rentan menderita.
Maka menyerupai yang telah diungkapkan pada potongan sebelumnya, bahwa kekuatan aturan dan forum Negara yang mengawasi jalannya pemenuhan hak – hak anak menjadi sangat penting perannya. Karena anak ialah masa depan Negara, lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mereka bukan hanya sebatas tanggung jawab keluarga namun juga pemerintah, sehingga anak sanggup bertumbuh dengan baik dan sehat.
Kasus kekerasan terhadap anak misalnya, sepanjang tahun 2009 Komnas Perlindungan Anak telah mendapatkan pengaduan sebanyak 1.998 kasus. Angka ini meningkat kalau dibandingkan dengan pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2008, yakni 1.736 kasus. Ironisnya, kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, forum pendidikan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya ialah orang yang seyogianya melindungi anak[1].
Masyarakat masih banyak menganggap KDRTA urusan "dapur" satu keluarga. Orang bau tanah juga, tak sedikit, beranggapan bahwa anaknya ialah hak milik dan tanggung jawabnya sampai ia berhak melaksanakan apa saja, termasuk membantingnya lantaran kesal mengakibatkan anak meninggal atau atas nama mendidik, membina dan melaksanakan tugasnya sebagai orang tua, anak sah-sah saja dihukum, dipukul, dimarahi, dicubit, dijewer sampai disiksa. Anak semenjak kecil sudah diajarkan supaya patuh dan taat kepada orang bau tanah dengan cara kekerasan.
Orang bau tanah dalam menerapkan disiplin kepada anak sering tidak memperhatikan keberadaan anak sebagai seorang manusia. Anak sering dibelenggu aturan-aturan orang bau tanah yang tidak rasional dan tanpa menghargai keberadaan anak dengan segala hak-haknya, menyerupai hak anak untuk bermain. Ini ialah kenyataan. Hirarki sosial yang diajarkan ialah hirarki otoriter, sewenang-wenang. Tak hanya di desa, tetapi juga di kota hal ini masih banyak terjadi. Tidak pula hanya oleh orang bau tanah yang katanya tak sekolahan, orang bau tanah yang terpandang di masyarakat ternyata juga ada sebagai aligator (pemangsa buas) atau penindas anak di rumah.
Kekerasan domestik (kekerasan dalam rumah tangga) oleh sebagian masyarakat kita tidak dianggap sebagai kejahatan. Inilah faktanya, KDRTA hanya dilaporkan atau dianggap sebagai masalah kalau berakibat cedera parah atau meninggal. Hanya masalah dramatis dan berdarah-darah gres dinilai kejahatan. Luka memar kena pukul ayah atau anak berkepribadian pemalu lantaran di rumah selalu menghadapi tekanan orang bau tanah tidak dianggap kejahatan. Lainnya, banyak masih menilai KDRTA sebagai problem individu per individu atau melokalisir daerah kejadian. Hanya insiden di lingkungan apa, lantaran bapaknya tidak kerja, ibunya stress lantaran ditinggal suami, lantaran bapaknya ini itu dan bermacam-macam alasan pembenaran yang sebenarnya secara aturan tidak sanggup dibenarkan. Dalam kondisi bagaimanapun anak tetap harus dilindungi, anak harus tetap disayangi dan anak harus tetap dibina dalam nilai-nilai yang bijaksana. Kepentingan yang terbaik bagi anak, haruslah menjadi pertimbangan dan perhatian kita dalam setiap tindakan kepada anak.
Masalahnya lagi, kita sering tidak mempercayai anak. Laporan anak tidak ditanggapi. Keluhan anak diabaikan, anak sebelum berbicara malah sudah disuruh membisu dengan bentakan atau pukulan. Apalagi kalau pelaku kekerasan itu orang tuanya, kita yang mendengar sering berkata: dasar kau bandel, kau yang salah, itu untuk mendidik kamu, makanya kau nurut sama orang tua.
Tidak hanya sistem atau budaya dalam masyarakat yang banyak merugikan anak, aturan yang semestinya melindungi justru merugikan dan itu lantaran status mereka bawah umur atau perempuan. Sebagai anak, mereka belum diakui kapasitas legalnya (legal capacity). Dalam masalah KDRTA dimana pelakunya ialah extended family (keluarga terdekat), terutama ayah-ibu, selain alat bukti yang dimungkinkan tidak cukup, juga untuk masalah tertentu menyerupai perkosaan (pasal 287 KUHP), kalau anak berumur dibawah 15 tahun maka kasusnya merupakan delik aduan, yang berarti suatu masalah sangat mungkin tidak terungkap dan kalaupun diadukan sewaktu-waktu sanggup dicabut oleh si pengadu, jawaban dipengaruhi atau anak mengalami tekanan psikologis dari keluarganya.
Maka oleh lantaran hasil inilah, pinjaman anak serta teori yang dipaparkan oleh para jago dan ketetapan aturan yang diberlakukan Indonesia harus semakin ketat pengawasan terhadap pelaksanaannya dan juga betapa pentingnya mendengar pendapat anak. Kaprikornus permasalahan anak yang menjadi korban dalam KDRT sanggup terlindungi dengan adanya peraturan yang ditetapkan secara khusus dalam UU abolisi tindak kekerasan dalam rumah tangga pada nomor 23 tahun 2004. Bahwa hak anak untuk menerima pinjaman di dalam keluarganya sendiripun sanggup dianyomi dengan penegakan dan pelaksanaan dari undang – undang ini.
            Seharusnya para orang bau tanah melindungi anak mereka dari kekerasan psikis, fisik dan juga dari kekerasan seksual, bukan malah menjadi pelaku dari tindakan kekerasan tersebut. Maslaah yang dialami oleh orang bau tanah dan tidak diketahui oleh anak – anak seharusnya tidak mengakibatkan sang anak menjadi pelampiasan kegundahan hati orang tua. Anak harusnya memliki hak untuk melangsungkan hidupnya. Anak berhak bertumbuh dan berkembang sesuai usianya di dalam suatu lingkungan yang kondusif. Anak seharusnya menerima pinjaman dan diberi hak untuk menikmati masa kecilnya, bukan malah dianiaya lantaran orang bau tanah mereka sedang bertengkar atau terhimpit maslah ekonomi.
            Bila dilihat dari ketentuan HAM, maka anak seharusnya juga berhak mendapatkan hak – haknya. Hak anak untuk hidup, bermain, dan menerima pinjaman orang bau tanah harusnya sanggup di sanggup anak demi perkembangan yang sehat sehingga sanggup menjadi tumbuh bangsa dan Negara di masa yang mendatang.
            Dalam masalah ini, orang bau tanah dari anak – anak ini, sanggup dipidana dengan pidana penjara, untuk pembunuhan maksimal seumur hidup tergantung kitab undang-undang hukum pidana dan bila merujuk pada UU no 23 tahun 2004 ialah dipidana dengan penjara selama tiga tahun alasannya ialah sudah melaksanakan kekerasan psikis dan denda sebesar Sembilan juta rupiah. Dan bagi paman bagi si anak yang disodomi maka akan dikenai pidana penjara paling usang dua belas tahun dan didenda sebanyak tiga puluh enam juta rupiah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Definisi Air Dan Peranannya Dalam Biofisika

Arti Mimpi Naik Tangga Dengan Anak Kecil Menurut Primbon Jawa

Pembukaan Uud 1945