Keruntuhan Teori Evolusi (By Harun Yahya)









KERUNTUHAN
TEORI EVOLUSI




Membongkar Manipulasi Ilmiah
di Balik teori Evolusi Darwin
dan Motif-Motif Ideologisnya







HARUN YAHYA




PENDAHULUAN
Ada Apa dengan Teori Evolusi?


Sebagian orang yang pernah mendengar “teori evolusi” atau “Darwinisme” mungkin beranggapan bahwa konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi dan tidak kuat sedikit pun terhadap kehidupan sehari-hari. Anggapan ini sangat keliru lantaran teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia.
Filsafat tersebut ialah “materialisme”, yang mengandung sejumlah pemikiran penuh kepalsuan perihal mengapa dan bagaimana insan muncul di muka bumi. Materialisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun selain materi dan materi ialah esensi dari segala sesuatu, baik yang hidup maupun tak hidup. Berawal dari pemikiran ini, materialisme mengingkari keberadaan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah. Dengan mereduksi segala sesuatu ke tingkat materi, teori ini mengubah insan menjadi makhluk yang hanya berorientasi kepada materi dan berpaling dari nilai-nilai moral. Ini ialah awal dari tragedi besar yang akan menimpa hidup manusia.
Kerusakan aliran materialisme tidak hanya terbatas pada tingkat individu. Ajaran ini juga mengarah untuk meruntuhkan nilai-nilai dasar suatu negara dan masyarakat dan membuat sebuah masyarakat tanpa jiwa dan rasa sensitif, yang hanya memperhatikan aspek materi. Anggota masyarakat yang demikian tidak akan pernah mempunyai idealisme mirip patriotisme, cinta bangsa, keadilan, loyalitas, kejujuran, pengorbanan, kehormatan atau moral yang baik, sehingga tatanan sosial yang dibangunnya pasti akan hancur dalam waktu singkat. Karena itulah, materialisme menjadi salah satu ancaman paling berat terhadap nilai-nilai yang mendasari tatanan politik dan sosial suatu bangsa.
Satu lagi kejahatan materialisme ialah dukungannya terhadap ideologi-ideologi anarkis dan bersifat memecah belah, yang mengancam kelangsungan kehidupan negara dan bangsa. Komunisme, aliran terdepan di antara ideologi-ideologi ini, merupakan konsekuensi politis alami dari filsafat materialisme. Karena komunisme berusaha menghancurkan tatanan sakral mirip keluarga dan negara, ia menjadi ideologi mendasar bagi segala bentuk gerakan separatis yang menolak struktur kesatuan suatu negara.
Teori evolusi menjadi semacam landasan ilmiah bagi materialisme, dasar pijakan ideologi komunisme. Dengan merujuk teori evolusi, komunisme berusaha membenarkan diri dan menampilkan ideologinya sebagai sesuatu yang logis dan benar. Karena itulah Karl Marx, aktivis komunisme, menuliskan The Origin of Species, buku Darwin yang mendasari teori evolusi dengan “Inilah buku yang berisi landasan sejarah alam bagi pandangan kami”1.
Namun faktanya, temuan-temuan gres ilmu pengetahuan modern telah membuat teori evolusi, iktikad periode ke-19 yang menjadi dasar pijakan segala bentuk aliran kaum materialis, menjadi tidak berlaku lagi, sehingga aliran ini — utamanya pandangan Karl Marx — benar-benar telah ambruk. Ilmu pengetahuan telah menolak dan akan tetap menolak hipotesis materialis yang tidak mengakui eksis-tensi apa pun kecuali materi. Dan ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa segala yang ada merupakan hasil ciptaan sesuatu yang lebih tinggi.
ujuan penulisan buku ini ialah memaparkan fakta-fakta ilmiah yang membantah teori evolusi dalam seluruh bidang ilmu, dan mengungkapkan kepada masyarakat luas tujuan sebenarnya dari apa yang disebut “ilmu pengetahuan” ini, yang ternyata tidak lebih dari sebuah penipuan.
Perlu diketahui bahwa evolusionis tidak mempunyai bantahan terhadap buku yang sedang Anda baca ini. Mereka bahkan tidak akan berusaha membantah lantaran sadar bahwa tindakan mirip itu hanya akan membuat setiap orang semakin paham bahwa teori evolusi hanyalah sebuah kebohongan.







BAB 1
Agar Bebas dari Prasangka


Kebanyakan orang mendapatkan apa pun yang mereka peroleh dari ilmuwan sebagai kebenaran sejati. Tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa ilmuwan pun mungkin mempunyai aneka macam prasangka filosofis atau ideologis. Pada kenyataannya, ilmuwan evolusionis telah memaksakan prasangka dan pandangan filosofis mereka kepada masyarakat luas dengan kedok ilmu pengetahuan. Misalnya, meskipun sadar bahwa insiden acak hanya akan menghasilkan ketidakteraturan dan kekacauan, mereka tetap menyatakan bahwa keteraturan, perencanaan dan desain yang sangat mengagumkan pada jagat raya dan makhluk hidup terjadi secara kebetulan.
Sebagai contoh, andal biologi semacam ini akan dengan mudahnya menemukan keselarasan yang menakjubkan pada molekul protein, materi penyusun kehidupan, dan molekul ini sama sekali tidak mungkin muncul secara kebetulan. Meski demikian ia malah menyatakan bahwa protein ini muncul pada kondisi bumi yang primitif secara kebetulan miliaran tahun yang lalu. Tidak cukup hingga di sini, ia juga menyatakan tanpa keraguan bahwa tidak hanya satu, tetapi jutaan protein terbentuk secara kebetulan, dan selanjutnya secara luar biasa bergabung membentuk sel hidup pertama. Lebih jauh lagi, ia berkeras mempertahankan pandangannya secara fanatik. Orang ini ialah ilmuwan “evolusionis”.
Jika ilmuwan yang sama melewati sebuah jalan datar, dan menemukan tiga buah kerikil bata bertumpuk rapi, tentunya ia tidak akan pernah menganggap bahwa ketiga kerikil bata tersebut terbentuk secara kebetulan dan selanjutnya menyusun diri menjadi tumpukan, juga secara kebetulan. Sudah pasti, siapa pun yang membuat pernyataan mirip itu akan dianggap tidak waras.
Lalu, bagaimana mungkin mereka yang bisa menilai peristiwa-peristiwa biasa secara rasional, sanggup bersikap begitu tidak masuk budi ketika memikirkan keberadaan diri mereka sendiri?
Sikap mirip ini tidak mungkin diambil atas nama ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan, kalau terdapat dua alternatif dengan kemungkinan yang sama mengenai suatu masalah, kita diharuskan mempertimbangkan keduanya. Dan kalau kemungkinan salah satu alternatif tersebut jauh lebih kecil, contohnya hanya 1 %, maka tindakan yang rasional dan ilmiah ialah mengambil alternatif lainnya, yang mempunyai kemungkinan 99 %, sebagai pilihan yang benar.
Mari kita teruskan dengan berpegang pada pedoman ilmiah ini. Terdapat dua pandangan yang sanggup dikemukakan perihal bagaimana makhluk hidup muncul di muka bumi. Pandangan pertama menyatakan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh Allah dalam tatanan yang rumit mirip kini ini. Sedangkan pandangan kedua menyatakan bahwa kehidupan terbentuk oleh kebetulan-kebetulan acak dan di luar kesengajaan. Pandangan terakhir ini ialah pernyataan teori evolusi.
Jika kita mengacu kepada data-data ilmiah, contohnya di bidang biologi molekuler, jangankan satu sel hidup, salah satu dari jutaan protein di dalam sel tersebut sangat tidak mungkin muncul secara kebetulan. Sebagaimana juga akan diilustrasikan dalam bab-bab berikutnya, perhitungan probabilitas telah berkali-kali menegaskan hal ini. Makara pandangan evolusionis perihal kemunculan makhluk hidup mempunyai probabilitas nol untuk diterima sebagai kebenaran.
Artinya, pandangan pertama mempunyai kemungkinan “100 %” sebagai suatu kebenaran. Jadi, kehidupan telah dimunculkan dengan sengaja, atau dengan kata lain, kehidupan itu "diciptakan". Semua makhluk hidup telah muncul atas kehendak Sang Pencipta yang mempunyai kekuatan, kebijaksanaan dan ilmu yang tak tertandingi. Kenyataan ini bukan sekadar duduk kasus keyakinan; ini ialah kesimpulan yang sudah semestinya dicapai melalui kearifan, nalar dan ilmu pengetahuan.
Dengan begitu, sudah seharusnya ilmuwan "evolusionis" tadi menarik pernyataan mereka dan mendapatkan fakta yang terang dan telah terbukti. Dengan bersikap sebaliknya, ia telah mengorbankan ilmu pengetahuan demi filsafat, ideologi dan iktikad yang diikutinya, dan tidak menjadi seorang ilmuwan sejati.
Kemarahan, perilaku keras kepala dan prasangka “ilmuwan” ini semakin bertambah setiap kali ia berhadapan dengan kenyataan. Sikapnya sanggup dijelaskan dengan satu kata: ”keyakinan”. Tetapi keyakinan tersebut ialah keyakinan takhayul yang buta, lantaran hanya itulah klarifikasi bagi ketidakpeduliannya terhadap fakta-fakta atau kesetiaan seumur hidup kepada skenario tak masuk budi yang ia susun dalam khayalannya sendiri.


Materialisme Buta

Keyakinan yang kita bicarakan ini ialah filsafat materialistis, yang beropini bahwa materi bersifat kekal, dan tidak ada yang lain kecuali materi. Teori evolusi menjadi semacam “pondasi ilmiah” filsafat materialistis ini, sehingga dibela secara membuta demi mempertahankan filsafat tersebut. Ketika ilmu pengetahuan menggugurkan pernyataan-pernyataan perihal evolusi pada penghujung periode ke-20, mereka berupaya mendistorsi dan menempatkan ilmu pengetahuan untuk mendukung teori evolusi, sehingga ideologi materialisme tetap hidup.
Kutipan dari salah spesialis biologi evolusionis ternama dari Turki berikut ini merupakan teladan kasatmata untuk melihat tujuan dari evaluasi menyimpang tanggapan keyakinan buta ini. Ilmuwan ini membahas probabilitas pembentukan secara kebetulan sitokrom-C, salah satu enzim terpenting bagi kehidupan:
Probabilitas pembentukan rangkaian sitokrom-C mendekati nol. Jadi, kalau kehidupan memerlukan sebuah rangkaian tertentu, maka sanggup dikatakan bahwa ia mempunyai probabilitas untuk terwujud hanya satu kali di seluruh alam semesta. Jika tidak, kekuatan-kekuatan metafisis di luar definisi kita mestilah telah berperan dalam pembentukan tersebut. Menerima pernyataan terakhir ini tidak sesuai dengan tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, karenanya kita harus mengkaji hipotesis pertama. 1
Bagi ilmuwan ini, mendapatkan sebuah kemungkinan yang “mendekati nol” lebih ilmiah daripada mendapatkan fakta penciptaan. Padahal berdasarkan pedoman ilmiah, kalau terdapat dua alternatif klarifikasi perihal suatu insiden dan salah satunya mempunyai kemungkinan yang ”mendekati nol”, maka yang benar ialah alternatif lainnya. Namun pendekatan materialistis dogmatis ini melarang ratifikasi terhadap Pencipta Yang Mahaagung. Pelarangan ini mengarahkan ilmuwan tersebut dan banyak ilmuwan lain yang mempercayai iktikad materialis ini untuk mendapatkan pernyataan-pernyataan yang bertentangan sama sekali dengan akal.
Orang-orang yang mempercayai ilmuwan tersebut pun menjadi terpikat dan dibutakan oleh mantra materialistis yang sama, dan mengalami kondisi psikologis serupa ketika membaca buku-buku dan artikel-artikel mereka.
Sudut pandang materialistis dogmatis menjadi penyebab banyaknya ilmuwan ternama yang ateis. Sedangkan mereka yang telah membebaskan diri dari jeratan mantra ini dan mau membuka pikiran, tidak akan ragu mendapatkan keberadaan Sang Pencipta. Ahli biokimia Amerika, Dr. Michael J. Behe, salah seorang ilmuwan terkemuka pendukung teori “intelligent design“ yang akhir-akhir ini telah diterima luas, menggambarkan para ilmuwan yang tidak mempercayai “desain” atau “penciptaan” makhluk hidup sebagai berikut:
Selama empat dekade terakhir, bio-kimia modern telah berhasil menyingkap diam-diam sel. Hal ini menuntut puluhan ribu orang mendedikasikan penggalan terbaik dari hidup mereka untuk pekerjaan laboratorium yang membosankan.... Usaha kumulatif meneliti sel, yang berarti meneliti kehidupan di tingkat molekuler, menghasilkan sebuah teriakan tajam, terang dan nyaring, "Desain!". Hasilnya sangat terang dan begitu signifikan, sehingga harus dikategorikan sebagai sebuah pencapaian terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan.... Anehnya, kerumitan yang luar biasa dari sebuah sel ini disambut dengan kesadaran yang tak terungkap. Mengapa komunitas ilmuwan tidak antusias menyambut inovasi yang mengejutkan ini? Mengapa observasi desain ini diselimuti dengan tabir intelektual? Yang menjadi dilema ialah bahwa ketika satu sisi seekor gajah diberi label “intelligent design”, sisi yang lain harus diberi label “Tuhan”. 2
Inilah kesulitan bagi ilmuwan evolusionis ateis yang An-da saksikan di majalah-majalah dan televisi dan menulis buku-buku yang mungkin Anda baca. Semua penelitian ilmiah yang mereka lakukan memperlihatkan keberadaan Sang Pencipta. Akan tetapi, dikarenakan telah begitu mati rasa dan buta oleh pendidikan materialistik dogmatis, mereka masih saja bersikeras menolak.
Mereka yang terus-menerus mengabaikan gejala dan bukti-bukti kasatmata keberadaan Pencipta akan kehilangan seluruh kepekaan. Mereka terperangkap dalam kepercayaan diri yang menyesatkan tanggapan memudarnya kepekaan, dan kesannya menjadi pendukung kemustahilan. Contohnya Richard Dawkins, seorang evolusionis terkemuka yang menyeru umat Katolik untuk tidak meyakini mukjizat, bahkan kalau mereka melihat patung Bunda Maria melambaikan tangannya. Menurut Dawkin, “Mungkin saja semua atom penyusun lengan patung itu kebetulan bergerak ke arah yang sama pada dikala bersamaan — suatu insiden dengan probabilitas teramat kecil, tetapi mungkin terjadi.” 3
Masalah psikis orang-orang yang tidak beriman telah ada sepanjang sejarah. Dalam Al Alquran dinyatakan:

“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka pasti mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali kalau Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al An'aam, 6: 111)

Sebagaimana dijelaskan ayat tersebut, pemikiran dogmatis para evolusionis bukan sesuatu yang baru, bahkan bukan karakteristik mereka saja. Nyatanya, apa yang dipertahankan ilmuwan evolusionis bukanlah pemikiran ilmiah modern, melainkan kebodohan yang telah mendarah daging semenjak zaman masyarakat penyembah berhala yang tidak beradab.
Aspek kejiwaan yang sama disebutkan dalam ayat lain:

“Dan kalau seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, kemudian mereka terus-menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata: 'Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami ialah orang-orang yang kena sihir'." (QS. Al Hijr, 15: 14-15)


Indoktrinasi Teori Evolusi Secara Massal

Sebagaimana ditunjukkan dalam ayat-ayat di atas, salah satu penyebab insan tidak bisa melihat realitas keberadaan mereka ialah semacam “mantra” yang mengaburkan daypikir mereka. “Mantra” ini pula yang mendasari seluruh dunia mendapatkan teori evolusi. Mantra yang dimaksud di sini ialah suatu pengondisian melalui indoktrinasi. Orang-orang telah diindoktrinasi sedemikian gencar mengenai kebenaran teori evolusi hingga mereka tidak menyadari penyimpangan yang ada.
Indoktrinasi ini berdampak negatif pada otak dan melumpuhkan kemampuan menilai sesuatu. Pada akhirnya, otak yang dibombardir oleh indoktrinasi terus-menerus ini mulai mendapatkan realitas tidak sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana yang diindoktrinasikan. Fenomena ini sanggup dijumpai pada sejumlah teladan lain. Misalnya, kalau seseorang dihipnotis dan diindoktrinasi bahwa daerah tidur tempatnya berbaring ialah sebuah mobil, ia akan tetap merasa daerah tidur itu sebagai sebuah kendaraan beroda empat meski masa hipnotis telah selesai. Ia menganggap hal ini sangat logis dan rasional lantaran ia benar-benar melihatnya demikian dan ia tidak ragu sedikit pun. Contoh yang memperlihatkan keampuhan dan kekuatan prosedur indoktrinasi ini merupakan realitas ilmiah yang telah dibuktikan melalui banyak percobaan, telah dilaporkan dalam literatur ilmiah, serta merupakan santapan sehari-hari buku-buku pelajaran psikologi dan psikiatri.
Teori evolusi, dan materialisme yang berpijak padanya, dijejalkan kepada masyarakat luas melalui metode indoktrinasi mirip ini. Mereka yang tiada henti menemui indoktrinasi evolusi ini di aneka macam media massa, sumber akademis, dan wahana “ilmiah”, tidak menyadari bahwa mendapatkan teori ini bertentangan dengan prinsip nalar yang paling mendasar. Indoktrinasi serupa pun menjerat para ilmuwan. Ilmuwan muda yang sedang meniti karier mendapatkan cara pandang materialis ini dengan takaran yang bertambah seiring perjalanan waktu. Akibat mantra ini, banyak ilmuwan evolusionis terus mencari pembenaran ilmiah bagi pernyataan evolusionis periode ke-19 yang tidak masuk akal, usang, dan telah lama digugurkan oleh bukti-bukti ilmiah.
Ada pula prosedur suplemen yang memaksa ilmuwan menjadi evolusionis dan materialis. Di negara-negara Barat, seorang ilmuwan harus memenuhi beberapa persyaratan untuk mendapatkan promosi, mendapatkan ratifikasi akademis, atau semoga artikelnya diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Pengakuan terang-terangan terhadap teori evolusi ialah kriteria nomor satu. Sistem ini membuat para ilmuwan menghabiskan seluruh hidup dan karier ilmiahnya demi sebuah keyakinan dogmatis.
Inilah realitas sebenarnya di balik pernyataan “evolusi masih tetap diterima oleh dunia ilmu pengetahuan”. Evolusi dipertahankan hidup bukan lantaran mempunyai kelayakan ilmiah, tetapi lantaran merupakan sebuah kewajiban ideologis. Sangat sedikit ilmuwan yang menyadari kenyataan ini, dan berani memperlihatkan “sang raja tidak mengenakan selembar baju pun”.
Bagian selanjutnya dari buku ini akan mengetengahkan penemuan-penemuan ilmiah modern yang telah meruntuhkan kepercayaan evolusionis dan yang memperlihatkan bukti-bukti kasatmata keberadaan Allah. Pembaca akan menyaksikan bahwa teori evolusi ternyata merupakan kebohongan — sebuah kebohongan yang dibuktikan oleh ilmu pengetahuan pada tiap tahapannya, akan tetapi tetap saja dipertahankan untuk menutupi fakta penciptaan. Diharapkan pembaca akan membebaskan diri dari mantra yang menumpulkan pikiran dan melumpuhkan kemampuan menilai tersebut, dan selanjutnya merenungkan dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan dalam buku ini.
Jika ia melepaskan diri dari jerat mantra ini dan bisa berpikir jernih, bebas dan tanpa prasangka, ia akan segera menemukan kebenaran sebening kristal. Kebenaran tak terbantahkan ini, yang telah ditunjukkan pula oleh ilmu pengetahuan modern dalam semua aspek, ialah bahwa makhluk hidup muncul bukan secara kebetulan melainkan sebagai hasil penciptaan. Manusia akan dengan gampang melihat fakta penciptaan ketika ia mau memikirkan bagaimana dirinya menjadi ada, bagaimana ia tercipta dari setetes air, atau kesempurnaan pada setiap makhluk hidup lain.

1) Ali Demisroy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan Sifat dan Evolusi), Ankara: Meteksan Publishing Co., 1984, hlm. 61
2) Michael J. Behe, Darwin’s Black Box, New York: Free Press, 1996, hlm. 232- 233
3) Richard Dawkins, The Blind Watchmaker, London: W. W. Norton, 1996, hlm. 159




BAB 2:
Sejarah Singkat Teori Evolusi


Akar pemikiran evolusionis muncul sezaman dengan keyakinan dogmatis yang berusaha keras mengingkari penciptaan. Mayoritas filsuf penganut pagan di zaman Yunani kuno mempertahankan gagasan evolusi. Jika kita mengamati sejarah filsafat, kita akan melihat bahwa gagasan evolusi telah menopang banyak filsafat pagan.
Akan tetapi bukan filsafat pagan kuno ini yang telah berperan penting dalam kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan modern, melainkan keimanan kepada Tuhan. Pada umumnya mereka yang memelopori ilmu pengetahuan modern mempercayai keberadaan-Nya. Seraya mempelajari ilmu pengetahuan, mereka berusaha menyingkap diam-diam jagat raya yang telah diciptakan Tuhan dan mengungkap hukum-hukum dan detail-detail dalam ciptaan-Nya. Ahli Astronomi mirip Leonardo da Vinci, Copernicus, Keppler dan Galileo; bapak paleontologi, Cuvier; perintis botani dan zoologi, Linnaeus; dan Isaac Newton, yang dijuluki sebagai “ilmuwan terbesar yang pernah ada”, semua mempelajari ilmu pengetahuan dengan tidak hanya meyakini keberadaan Tuhan, tetapi juga bahwa keseluruhan alam semesta ialah hasil ciptaan-Nya.1 Albert Einstein, yang dianggap sebagai orang paling jenius di zaman kita, ialah seorang ilmuwan yang mempercayai Tuhan dan menyatakan, “Saya tidak bisa membayangkan ada ilmuwan sejati tanpa keimanan mendalam mirip itu. Ibaratnya: ilmu pengetahuan tanpa agama akan pincang.” 2
Salah seorang pendiri fisika modern, dokter asal Jerman, Max Planck menyampaikan bahwa setiap orang, yang mempelajari ilmu pengetahuan dengan sungguh-sungguh, akan membaca pada gerbang istana ilmu pengetahuan sebuah kata: “Berimanlah”. Keimanan ialah atribut penting seorang ilmuwan.3
Teori evolusi merupakan buah filsafat materialistis yang muncul bersamaan dengan kebangkitan filsafat-filsafat materialistis kuno dan kemudian menyebar luas di periode ke-19. Seperti telah disebutkan sebelumnya, paham materialisme berusaha menjelaskan alam semata melalui faktor-faktor materi. Karena menolak penciptaan, pandangan ini menyatakan bahwa segala sesuatu, hidup ataupun tak hidup, muncul tidak melalui penciptaan tetapi dari sebuah insiden kebetulan yang kemudian mencapai kondisi teratur. Akan tetapi, budi insan sedemikian terstruktur sehingga bisa memahami keberadaan sebuah kehendak yang mengatur di mana pun ia menemukan keteraturan. Filsafat materialistis, yang bertentangan dengan karakteristik paling mendasar budi insan ini, memunculkan “teori evolusi” di pertengahan periode ke-19.


Khayalan Darwin

Orang yang mengemukakan teori evolusi sebagaimana yang dipertahankan remaja ini, ialah seorang naturalis amatir dari Inggris, Charles Robert Darwin.
Darwin tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang biologi. Ia hanya mempunyai ketertarikan amatir pada alam dan makhluk hidup. Minat tersebut mendorongnya bergabung secara sukarela dalam ekspedisi pelayaran dengan sebuah kapal berjulukan H.M.S. Beagle, yang berangkat dari Inggris tahun 1832 dan mengarungi aneka macam belahan dunia selama lima tahun. Darwin muda sangat takjub melihat bermacam-macam spesies makhluk hidup, terutama jenis-jenis burung finch tertentu di kepulauan Galapagos. Ia mengira bahwa variasi pada paruh burung-burung tersebut disebabkan oleh penyesuaian mereka terhadap habitat. Dengan pemikiran ini, ia mengira bahwa asal permintaan kehidupan dan spesies berdasar pada konsep “adaptasi terhadap lingkungan”. Menurut Darwin, aneka spesies makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh Tuhan, tetapi berasal dari nenek mo-yang yang sama dan menjadi berbeda satu sama lain tanggapan kondisi alam.
Hipotesis Darwin tidak berdasarkan inovasi atau penelitian ilmiah apa pun; tetapi kemudian ia menjadikannya sebuah teori monumental berkat sumbangan dan dorongan para andal biologi materialis populer pada masanya. Gagasannya menyatakan bahwa individu-individu yang menyesuaikan diri pada habitat mereka dengan cara terbaik, akan menurunkan sifat-sifat mereka kepada generasi berikutnya. Sifat-sifat yang menguntungkan ini lama-kelamaan terakumulasi dan mengubah suatu individu menjadi spesies yang sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya. (Asal permintaan “sifat-sifat yang menguntungkan” ini belum diketahui pada waktu itu.) Menurut Darwin, insan ialah hasil paling maju dari prosedur ini.
Darwin menamakan proses ini “evolusi melalui seleksi alam”. Ia mengira telah menemukan “asal permintaan spesies”: suatu spesies berasal dari spesies lain. Ia mempublikasikan pandangannya ini dalam bukunya yang berjudul The Origin of Species, By Means of Natural Selection pada tahun 1859.
Darwin sadar bahwa teorinya menghadapi banyak masalah. Ia mengakui ini dalam bukunya pada penggalan “Difficulties of the Theory”. Kesulitan-kesulitan ini terutama pada catatan fosil dan organ-organ rumit makhluk hidup (misalnya mata) yang tidak mungkin dijelaskan dengan konsep kebetulan, dan naluri makhluk hidup. Darwin berharap kesulitan-kesulitan ini akan teratasi oleh penemuan-penemuan baru; tetapi bagaimanapun ia tetap mengajukan sejumlah klarifikasi yang sangat tidak memadai untuk sebagian kesulitan tersebut. Seorang andal fisika Amerika, Lipson, mengomentari “kesulitan-kesulitan” Darwin tersebut:
Ketika membaca The Origin of Species, saya mendapati bahwa Darwin sendiri tidak seyakin yang sering dikatakan orang tentangnya; penggalan "Difficulties of the Theory" misalnya, memperlihatkan keragu-raguannya yang cukup besar. Sebagai seorang fisikawan, saya secara khusus merasa terganggu oleh komentarnya mengenai bagaimana mata terbentuk.4
Saat menyusun teorinya, Darwin terkesan oleh para andal biologi evolusionis sebelumnya, terutama spesialis biologi Perancis, Lamarck.5 Menurut Lamarck, makhluk hidup mewariskan ciri-ciri yang mereka dapatkan selama hidupnya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga terjadilah evolusi. Sebagai contoh, jerapah berevolusi dari hewan yang mirip antelop. Perubahan itu terjadi dengan memanjangkan leher mereka bertahap dari generasi ke generasi ketika berusaha menjangkau dahan yang lebih tinggi untuk memperoleh makanan. Darwin memakai hipotesis Lamarck perihal “pewarisan sifat-sifat yang diperoleh” sebagai faktor yang mengakibatkan makhluk hidup berevolusi.
Namun Darwin dan Lamarck telah keliru, lantaran pada masa mereka, kehidupan hanya sanggup dipelajari dengan teknologi yang sangat primitif dan pada tahap yang sangat tidak memadai. Bidang-bidang ilmu pengetahuan mirip genetika dan biokimia belum ada sekalipun hanya nama. Karenanya, teori mereka harus bergantung sepenuhnya pada kekuatan imajinasi.
Di dikala gema buku Darwin tengah berkumandang, spesialis botani Austria berjulukan Gregor Mendel menemukan aturan penurunan sifat pada tahun 1865. Meskipun tidak banyak dikenal orang hingga simpulan periode ke-19, inovasi Mendel menerima perhatian besar di awal tahun 1900-an. Inilah awal kelahiran ilmu genetika. Beberapa waktu kemudian, struktur gen dan kromosom ditemukan. Pada tahun 1950-an, inovasi struktur molekul DNA yang berisi info genetis menghempaskan teori evolusi ke dalam krisis. Alasannya ialah kerumitan luar biasa dari kehidupan dan ketidakabsahan prosedur evolusi yang diajukan Darwin.
Perkembangan ini seharusnya membuat teori Darwin terbuang dalam keranjang sampah sejarah. Namun ini tidak terjadi, lantaran ada kelompok-kelompok tertentu yang bersikeras merevisi, memperbarui dan mengangkat kembali teori ini pada kedudukan ilmiah. Kita sanggup memahami maksud upaya-upaya tersebut hanya kalau menyadari bahwa di belakang teori ini terdapat tujuan ideologis, bukan sekadar kepentingan ilmiah.


Usaha Putus Asa Neo-Darwinisme

Teori Darwin jatuh terpuruk dalam krisis lantaran hukum-hukum genetika yang ditemukan pada perempat pertama periode ke-20. Meskipun demikian, sekelompok ilmuwan yang bertekad bundar tetap setia kepada Darwin berusaha mencari jalan keluar. Mereka berkumpul dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Geological Society of America pada tahun 1941. Ahli genetika mirip G. Ledyard Stebbins dan Theodosius Dobzhansky, andal zoologi mirip Ernst Mayr dan Julian Huxley, andal paleontologi mirip George Gaylord Simpson dan Glenn L. Jepsen, dan andal genetika matematis mirip Ronald Fisher dan Sewall Right, sesudah pembicaraan panjang kesannya menyetujui cara-cara untuk “menambal sulam” Darwinisme.
Kader-kader ini berfokus kepada pertanyaan perihal asal permintaan variasi menguntungkan yang diasumsikan menjadi penyebab makhluk hidup berevolusi —sebuah duduk kasus yang tidak bisa dijelaskan oleh Darwin sendiri dan dielakkan dengan bergantung pada teori Lamarck. Gagasan mereka kali ini ialah “mutasi acak” (random mutations). Mereka menamakan teori gres ini “Teori Evolusi Sintetis Modern” (The Modern Synthetic Evolution Theory), yang dirumuskan dengan menambahkan konsep mutasi pada teori seleksi alam Darwin. Dalam waktu singkat, teori ini dikenal sebagai “neo-Darwinisme” dan mereka yang mengemukakannya disebut “neo-Darwinis”.
Beberapa dekade berikutnya menjadi era usaha berat untuk mengambarkan kebenaran neo-Darwinisme. Telah diketahui bahwa mutasi — atau “kecelakaan” — yang terjadi pada gen-gen makhluk hidup selalu membahayakan. Neo-Darwinis berupaya memperlihatkan teladan “mutasi yang menguntungkan” dengan melaksanakan ribuan eksperimen mutasi. Akan tetapi semua upaya mereka berakhir dengan kegagalan total.
Mereka juga berupaya mengambarkan bahwa makhluk hidup pertama muncul secara kebetulan di bawah kondisi-kondisi bumi primitif, mirip yang diasumsikan teori tersebut. Akan tetapi eksperimen-eksperimen ini pun menemui kegagalan. Setiap eksperimen yang bertujuan mengambarkan bahwa kehidupan sanggup dimunculkan secara kebetulan telah gagal. Perhitungan probabilitas mengambarkan bahwa tidak ada satu pun protein, yang merupakan molekul penyusun kehidupan, sanggup muncul secara kebetulan. Begitu pula sel, yang berdasarkan anggapan evolusionis muncul secara kebetulan pada kondisi bumi primitif dan tidak terkendali, tidak sanggup disintesis oleh laboratorium-laboratorium periode ke-20 yang tercanggih sekalipun.
Teori neo-Darwinis telah ditumbangkan pula oleh catatan fosil. Tidak pernah ditemukan di belahan dunia mana pun “bentuk-bentuk transisi” yang diasumsikan teori neo-Darwinis sebagai bukti evolusi bertahap pada makhluk hidup dari spesies primitif ke spesies lebih maju. Begitu pula perbandingan anatomi memperlihatkan bahwa spesies yang diduga telah berevolusi dari spesies lain ternyata mempunyai ciri-ciri anatomi yang sangat berbeda, sehingga mereka tidak mungkin menjadi nenek moyang dan keturunannya.
Neo-Darwinisme memang tidak pernah menjadi teori ilmiah, tapi merupakan sebuah iktikad ideologis kalau tidak bisa disebut sebagai semacam "agama". Oleh lantaran itu, pendukung teori evolusi masih saja mempertahankannya meskipun bukti-bukti berbicara lain. Tetapi ada satu hal yang mereka sendiri tidak sependapat, yaitu model evolusi mana yang “benar” dari sekian banyak model yang diajukan. Salah satu hal terpenting dari model-model tersebut ialah sebuah skenario fantastis yang disebut “punctuated equilibrium”.


Coba-Coba: Punctuated Equilibrium

Sebagian besar ilmuwan yang mempercayai evolusi mendapatkan teori neo-Darwinis bahwa evolusi terjadi secara perlahan dan bertahap. Pada beberapa dekade terakhir ini, telah dikemukakan sebuah model lain yang dinamakan “punctuated equilibrium”. Model ini menolak gagasan Darwin perihal evolusi yang terjadi secara kumulatif dan sedikit demi sedikit. Sebaliknya, model ini menyatakan evolusi terjadi dalam “loncatan” besar yang diskontinu.
Pembela fanatik pendapat ini pertama kali muncul pada awal tahun 1970-an. Awalnya, dua orang andal paleontologi Amerika, Niles Eldredge dan Stephen Jay Gould, sangat sadar bahwa pernyataan neo-Darwinis telah diruntuhkan secara sewenang-wenang oleh catatan fosil. Fosil-fosil telah mengambarkan bahwa makhluk hidup tidak berasal dari evolusi bertahap, tetapi muncul tiba-tiba dan sudah terbentuk sepenuhnya. Hingga kini neo-Darwinis senantiasa berharap bahwa bentuk peralihan yang hilang suatu hari akan ditemukan. Eldredge dan Gould menyadari bahwa cita-cita ini tidak berdasar, namun di sisi lain mereka tetap tidak bisa meninggalkan iktikad evolusi. Karena itulah kesannya mereka mengemukakan sebuah model gres yang disebut punctuated equilibrium tadi. Inilah model yang menyatakan bahwa evolusi tidak terjadi sebagai hasil dari variasi minor, namun dalam per-ubahan besar dan tiba-tiba.
Model ini hanya sebuah khayalan. Sebagai contoh, O.H. Shindewolf, spesialis paleontologi dari Eropa yang merintis jalan bagi Eldredge dan Gould, menyatakan bahwa burung pertama muncul dari sebutir telur reptil, sebagai “mutasi besar-besaran” (gross mutation), yakni tanggapan “kecelakaan” besar yang terjadi pada struktur gen.6 Menurut teori tersebut, seekor hewan darat sanggup menjadi paus raksasa sesudah mengalami perubahan menyeluruh secara tiba-tiba. Pernyataan yang sama sekali bertentangan dengan hukum-hukum genetika, biofisika dan biokimia ini, sama ilmiahnya dengan kisah katak yang menjadi pangeran! Dalam ketidakberdayaan lantaran pandangan neo-Darwinis terpuruk dalam krisis, sejumlah andal paleontologi pro-evolusi mempercayai teori ini, teori gres yang bahkan lebih ganjil daripada neo-Darwinisme itu sendiri.
Satu-satunya tujuan model ini ialah memperlihatkan klarifikasi untuk mengisi celah dalam catatan fosil yang tidak sanggup dijelaskan model neo-Darwinis. Namun, usaha menjelaskan kekosongan fosil dalam evolusi burung dengan pernyataan bahwa “seekor burung muncul tiba-tiba dari sebutir telur reptil” sama sekali tidak rasional. Sebagaimana diakui oleh evolusionis sendiri, evolusi dari satu spesies ke spesies lain membutuhkan perubahan besar info genetis yang menguntungkan. Akan tetapi, tidak ada mutasi yang memperbaiki info genetis atau menambahkan info gres padanya. Mutasi hanya merusak info genetis. Dengan demikian, “mutasi besar-besaran” yang digambarkan oleh model punctuated equilibrium hanya akan mengakibatkan pengurangan atau perusakan “besar-besaran” pada info genetis.
Lebih jauh lagi, model punctuated equilibrium runtuh semenjak pertama kali muncul lantaran ketidakmampuannya menjawab pertanyaan perihal asal permintaan kehidupan; pertanyaan serupa yang menggugurkan model neo-Darwinis semenjak awal. Karena tidak satu protein pun yang muncul secara kebetulan, perdebatan mengenai apakah organisme yang terdiri dari milyaran protein mengalami proses evolusi secara “tiba-tiba” atau “bertahap” tidak masuk akal.
Kendati demikian, neo-Darwinisme masih menjadi model yang terlintas dalam pikiran ketika “evolusi” menjadi pokok perbincangan remaja ini. Dalam bab-bab selanjutnya, kita akan melihat dua prosedur rekaan model neo-Darwinis, kemudian menyidik catatan fosil untuk menguji model ini. Setelah itu, kita akan membahas pertanyaan perihal asal permintaan kehidupan yang menggugurkan model neo-Darwinis dan semua model evolusionis lain mirip “evolusi dengan lompatan” (evolution by leaps).
Sebelumnya, ada baiknya meng-ingatkan pembaca bahwa fakta yang akan kita hadapi di setiap tahap ialah bahwa skenario evolusi merupakan sebuah kisah belaka, kebohongan besar yang sama sekali bertentangan dengan dunia nyata. Ini ialah sebuah skenario yang telah dipakai untuk membohongi dunia selama 140 tahun. Berkat penemuan-penemuan ilmiah terakhir, usaha kontinu mempertahankan teori tersebut kesannya menjadi mustahil.


1)Dan Graves, Science of Faith: Forty-Eight Biographies of Historic Scientists and Their Christian Faith, Grand Rapids, MI, Kregel Resources.
2)Science, Philosophy, And Religion: A Symposium, 1941, Bab 13.
3)J. De Vries, Essential of Physical Science, Wm. B. Eerdmans Pub. Co., Grand Rapids, SD 1958, hlm. 15
4)H. S. Lipson, "A Physicist's View of Darwin's Theory", Evolution Trends in Plants, Vol. 2, No. 1, 1988, hlm. 6.
5)Kendati Darwin menyatakan teorinya sama sekali terlepas dari teori Lamarck, ia bertahap mulai bersandar pada klaim Lamarck,hususnya edisi ke-6 yang merupakan edisi terakhir The Origin of Species dipenuhi contoh-contoh dari buku Lamarck “inheritance of acquired traits” (Pewarisan Sifat-Sifat yang Diperoleh). Lihat Benjamin Farrington, What Darwin Really Said, New York: Schocken Books, 1996, hlm. 64.
6) Steven M. Stanley, Macroevolution: Pattern and Process, San Francisco: W.H. Freeman and Co. 1979, hlm. 35, 159


FOKUS: Rasisme Darwin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Elektrodinamika

Magnetostatik

Berjalanlah Bersama Fisika (Yohanes Surya)